BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Didalam pembahasan ushul
fiqh merupakan kaidah yang penting untuk mempelajari ilmu fiqh, banyak
topik-topik yang menjadi bahasan dalam ilmu ushul fiqh seperti: amar, nahi,
‘am, khas, mujmal, mutlak, muqayyad dan lain sebagainya.
Di dalam pembahasan tentang mutlak dan muqayyad merupakan hal yang paling
terpenting untuk dijelaskan karena seseorang yang tidak mengerti akan perbedaan
dari masing-masing keduanya sehingga seseorang yang belajar ilmu fiqh dan dia
tidak mengerti akan perbedaan dari mutlak dan muqayyad akan terjadi
kesalahpahaman dalam mengartikansebuah ayat atau kitab lainnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Pengertian Muthlaq dan
Muqayyad
2. Kaidah Muthlaq dan Muqayyad
C.
Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan
Pengertian Muthlaq dan Muqayyad
2.
Menjelaskan
Kaidah Muthlaq dan Muqayyad
D.
Manfaat Penulisan
1.
Menambah
Pengetahuan tentang Pengertian Muthlaq dan Muqayyad
2.
Menambah
Pengetahuan tentang Kaidah Muthlaq dan Muqayyad
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Muthlaq dan Muqayyad
Secara bahasa kata muthlaq berarti
bebas tanpa ikatan, dan kata muqayyad berarti terikat. Kata muthlaq menurut
istilah seperti di kemukakan Abd al-Wahab Khallaf, ahli Ushul Fiqh
berkebangsaan mesir, dalam bukunya ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, adalah lafal yang
menunjukkan suatu satuan tanpa dibatasi secara harfiah dengan suatu ketentuan.
Seperti misriy
(seorang Mesir) dan rajulun (seseorang laki-laki), dan sebaliknya lafal
muqayyad adalah lafal yang mrnunjukkan suatu satuan yang secara lafziah
dibatasi dengan suatu ketentuan, misalnya, mishriyun muslimun (seorang
berkebangsaan Mesir yang beragama islam) dan rajulun rasyidan (seorang
laki-laki yang cerdas).
Ayat-ayat
hukum dalam Al-Qur’an ada yang bersifat muthlaq dan ada pula yang bersifat
muqayyad. Kaidah Ushul Fiqh yang berlaku disini adalah bahwa ayat yang bersifat
muthlaq harus dipahami secara muthlaq selama tidak ada dalil yang
membatasinya , sebaliknya ayat yang bersifat muqayyad harus di lakukan
sesuai dengan batasan nya[1].
B.
Kaidah
Muthlaq dan Muqayyad
Apabila nash hukum datang dengan
bentuk muthlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk muqayyad,
maka menurut ulama’ ushul fiqh ada empat kaidah didalamnya, yaitu :
1.
Jika sebab
dan hukum yang ada dalam muthlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada
didalam muqayyad. Maka dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh ayat
yang muthlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang
berbentuk muqayyad.
Contoh :
a.
Ayat Muthlaq
Surat Al-Maidah ayat 3 tentang darah
yang diharamkan , yaitu:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ (المائدة:3)
“Diharamkan Bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi
Ayat
ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali,
karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal
lain yang mengikatnya.
Adapun
sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa
yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.
b.
Ayat Muqayyad
Surat
Al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang
diharamkan.
قُلْ لَا
أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ
يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا (الأنعام:145)
“Katakanlah”
: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir”.
Lafadz “dam”
(darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah
atau qayid yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh
karena itu darah yang diharamkan menurut ayat ini ialah “dam-an
masfuhan” (darah yang mengalir).
Sebab dan
hukum antara surat al-An’am ayat 145 ini
dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan.
Berdasarkan
kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak
sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka
pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.”
Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah
yang diharamkan harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat
al-An’am ayat 145.
2.
Jika sebab
yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya
berbeda, maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad.
Contoh:
a.
Ayat Mutlaq
Surat
al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:
.فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ….( المائدة:6)
“Maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah…”
Lafadz “yad”
(tangan) dalam ayat di atas berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz
lain yang mengikat lafadz “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan
dari ayat ini ialah keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik
itu hingga pergelangan tangan atau sampai siku, tidak ada masalah. Kecuali jika
di sana ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata cara tayammum oleh
Nabi yang memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai pergelangan tangan.
b.
Ayat Muqayyad
Surat al-Maidah
ayat 6 tentang wudhu’, yaitu
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ …(المائدة:6)
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”
Lafadz “yad”
(tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang mengikatnya
yaitu “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat
tersebut mencuci tangan harus sampai siku.
Sebab dari
ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya yaitu
keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat
mutlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad
menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada
ayat mutlaq tidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya,
ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku,
sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku.
Dengan demikian ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan
ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.
3.
Jika sebab
yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum keduanya
sama, maka yang mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana
yang muqayyad.
Contoh :
a.
Ayat Muthlaq
Surat
al-Mujadalah ayat 3 tentang kifarat dzihar yang dilakukan seorang suami
kepada istrinya.
وَالَّذِينَ
يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا …(المجادلة:3)
“Orang-orang
yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur.”
Lafadz “raqabah”
(hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentuk mutlaq karena
tidak ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur
men-dzihar istrinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum
mencampurinya harus memerdekan hamba sahaya atau budak, baik yang beriman
ataupun yang tidak.
b.
Ayat Muqayyad
Surat An-Nisa’
ayat 92 tentang kifarat qatl
(pembunuhan) yang tidak sengaja, yaitu :
وَمَنْ
قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء:92)
“dan
barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman.”
Lafadz “raqabah”
(hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat lafadz “mukminah”
(beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba sahaya yang
beriman. Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan
yang lain kifarat qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba
sahaya, namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat mutlaq
berjalan berdasarkan kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad
berjalan berdasarkan ke-muqayyadan-nya.
4.
Jika sebab
dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang ada
pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan
sebagaimana yang muqayyad.
Contoh :
a.
Ayat Muthlaq
Masalah had
pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi :
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ
اللَّهِ ( المائدة:38)
“Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.”
Lafadz “yad”
dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan memotong
tangan tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus dipotong.
b.
Ayat Muqayyad
Masalah
wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ (المائدة:6)
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.”
Lafadz
“yad” dalam ayat wudhu’ ini berbentuk muqayyad karena diikat dengan
lafadz “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban mencuci
tangan sampai siku.
Dari
dua ayat di atas terdapat lafadz yang sama yaitu lafadz “yad”. Ayat pertama
berbentuk mutlaq, sedangkan yang kedua berbentuk muqayyad. Keduanya mempunyai
sebab dan hukum yang berbeda. Yang mutlaq berkenaan dengan pencurian yang hukumannya
harus potong tangan. Sedangkan
yang muqayyad berkenaan masalah wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai
siku. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang mutlaq tidak bisa dipahami
menurut yang muqayyad.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan pada
makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Contoh: lafadz ”
hamba sahaya/ raqabah ”. Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan pada makna
tertentu dengan batasan kata tertentu. Contoh: ” hamba sahaya yang mukmin/
raqabah mu’minah” yang berarti budak mukmin bukan budak lainnya
2. Kaidah Muthlaq adalah Lafadz muthlaq tetap dalam kemuthlakannya
hingga ada dalil yang membatasinya dari kemutlakan itu, sedangkan Kaidah
Muqayyad adalah Wajib mengerjakan yang Muqayyad kecuali jika ada dalil yang
membatalkannya.
DAFTAR PUSTAKA
~ Al-Quran al-Karim
~ Prof.Dr.H.Satria
Effendi, M.Zein,M.A,Ushul Fiqh,(Jakarta:Kencana,2005)
No comments:
Post a Comment