Monday, 25 September 2017

Makalah Sejarah PGRI Masa Orde Lama



Sejarah PGRI Masa Orde Lama

A.    GERAKAN GURU PADA MASA PERJUANGAN KEMERDEKAAN

        Pada zaman Belanda, terdapat bermacam – macam sekolah yang diperuntukkan bagi golongan tertentu. Guru – gurunya adalah tamatan bermacam sekolah guru, antara lain Sekolah Guru Desa, Kweekschool (KS), dll. Perbedaan dalam penggajian dan kedudukan tidak jarang menimbulkan pertentangan antar golongan. Pemerintah Belanda secara sistematis sengaja menciptakan golongan tinggi dan golongan rendah.
Para guru lulusan berbagai jenis sekolah yang ada pada masa itu berusaha memperjuangkan nasibnya. Pada tahun 1908 lahirlah Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel in Nederlands Indie (VSVT), organisasi tersebut bergerak untuk menuntut perbaikan nasib dan kedudukan yang wajar dan adil.
Mulai tahun 1907, terjadi perkembangan penting pada kelas tinggi Eerste-Inlandse School (EIS) yaitu diberikannya pelajaran bahasa Belanda. Setelah 7 tahun, EIS kemudian berubah menjadi Hollands-Inlandse School (HIS).Arti penting dari perubahan ini adalah supaya terbuka kesempatan bagi putra – putrid Indonesia untuk memasuki pintu gerbang ilmu pengetahuan umum, ilmu politik, ilmu sosial, sejarah, dan sebagainya.
Sejarah organisasi perjuangan guru pada zaman Belanda dimulai pada tahun 1912 dengan berdirinya Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) yang diketuai Karto Soebroto yang bersifat unitaristik. Kondisi sosial politik pada waktu itu mempersulit terciptanya kesatuan bahasa dalam perjuangan guru. PGHB yang berbentuk union tersebut akhirnya pecah dan mereka masing – masing anggota berjuang sesuai program kerjanya, terutama memperjuangkan perbaikan gaji. Pada tahun 1919 terbentuk gerakan – gerakan baru, PGB, PNS, KSB dan SOB.
Pada tahun 1932, PGHB diganti menadi PGI (Persatuan Guru Indonesia). Pada tahun 1930-an terdapat Perserikatan Volkbonden Pegawai Negeri (PVPN). Pada Desember 1939, jumlah seluruh anggota PVPN sebanyak 41.521 orang.
Perang Dunia II pecah tahun 1939. Negei Belanda diduduki oleh tentara Jepang. Pada zaman Jepang, keadaan sama sekali berubah. Segala organisasi dilarang, segala kegiatan pendidikan dan politik membeku. Menjelang jepang takluk pada tenyara Sekutu, sekolah mulai dibuka kembali.

B.     LAHIRNYA PGRI TANGGAL 25 NOVE MBER 1945
Proklamasi merupakan jembatan emas setelah bangsa Indonesia melewati perjuangan fisik untuk kemudian mulai membangun Indonesia yang baru, merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur berdasarkan pancasila.
Semangat proklamasi itulah yang menjiwai penyelenggaraan Kongres Pendidik Bangsa pada tanggal 24 – 25 November 1945 bertempat di Sekolah Guru Puteri (SGP) Surakarta. Dari kongres itu lahirlah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Pendiri PGRI antara lain Rh. Koesnan, Amin Singgih, Ali Marsaban, Djajeng Soegianto, Soemidi Ajisasmito, Abdullah Noerbambang, dan Soetono. Mereka serentak bersatu untuk mengisi kemerdekaan dengan 3 tujuan; a.) mempertanamkan dan menyempurnakan Republik Indonesia; b.) mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaransesuai dasar – dasar kerakyatan; c.) membela hak dan nasib para buruh umumnya dan khususnya para guru.
PGRI lahir sebagai “anak sulung” dari Proklamasi Kemerdekaan yang memiliki  sifat dan semangat seperti “ibu kandungnya”, yaitu semangat persatuan dan kesatuan, pengorbanan dan kepahlawanan untuk menentang penjajah. PGRI merupakan organisasi pelopor dan pejuang. Sementara itu tujuan kedua adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia. Tujuan yang ketiga sebagai wahana meningkatkan perjuangan untuk perbaikan nasib anggotanya.
Pada tanggal 24 – 25 November 1945 diadakan Kongres Guru Indonesia di Surakarta. Di dalam kongres tersebut , terdapat pengurus – pengururs sebagai berikut :
Ketua                      : Tn. Amin Singgih
Wakil Ketua           : 1. Tn. Koesnan
                                2. Tn. Soekitro
Penulis                    : 1. Tn. Djajengsoegito
                                 2. Tn. Alimarsaban
Bendahara              : 1. Tn. Soemidi Adisasmita
                                 2. Tn. Siswowidjojo
Anggota                  : 1. Nona Siti Wahjoenah
                                  2.Tn.Martosoedigdo
                                  3.Tn.Reksosoebroto(Siswowardodjo)
                                  4.Tn.Parmoedjo



C.  PGRI PADA MASA PERANG KEMERDEKAAN
Cita – cita PGRI sejalan dengan cita – cita bangsa Indonesia secara keseluruhan. Para guru menginginkan kebebasan dan kemerdekaan, memacu kecerdasan bangsa dan membela serta memperjuangkan kesejahteraan anggotanya. Pada tanggal 23 – 24 November 1946 diaadakan Kongres PGRI di Surakarta. PGRI mengajukan 3 tuntutan kepada pemerintah, yaitu mengenai Undang – undang Pokok Pendidikan dan Perburuhan, Sistem Pendidikan, dan Gaji guru. Tuntutan tersebut mendapat perhatian dari pemerintah.
 Kemudian pada tanggal 27 – 29 Februari 1948 diadakan Kongres III PGRI di Madiun. Kongres ini memutuskan bahwa untuk menigkatkan efektivitas organisasi, ditempuh jalan dengan memekarkan cabang – cabang yang tadinya setiap keresidenan memiliki satu cabang menjadi cabang yang lebih kecil. Untuk membantu tugas pengurus besar dibentuklah komisariat daerah pada setiap keresidenan.
PGRI memiliki haluan dan sifat perjuangan yang jelas, yaitu mempertahankan NKRI, meningkatkan pendidikan dan pengajaran nasional sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945, dan tidak bergerak dalam lapangan politik (non-partai politik).

D. PGRI PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL
1.                  Kongres IV PGRI di Yogyakarta : 26 – 28 Februari 1950
Menurut catatan, Kongres IV mewakili 15.000 anggota dari 76 cabang. Guru – guru yang bernaung dibawah panji – panji PGRI secara aklamasi mengambil keputusan untuk mempersatukan semua guru di seluruh tanah air dalam satu organisasi kesatuan yaitu PGRI.
PB PGRI segera melakukan kontak dengan tokoh – tokoh guru di Medan, Banjarmasin, Makassar dan Denpasar. Selain mengirim “Maklumat Persatuan”, dikirimkan juga seluruh keputusan Kongres IV dan AD/ART kepada para utusan yang menghadiri Kongres tersebut. Mereka ditugaskan supaya secepatnya memberikan laporan ke Jakarta dan Yogyakarta tentang tanggapan para guru terhadap “Maklumat Persatuan” serta perkembangan selanjutnya.
Pada akhir Februari 1950, sebanyak 30 cabang SGI di seluruh Negara Pasudan menyatakan memisahkan diri dari SGI kemudian masuk PGRI.
1.                  Kongres V PGRI di Bandung : 19 – 24 Desember 1950
Kongres ini secara keseluruhan melibatkan 202 cabang dari 301 cabang PGRI yang ada. Dalam kongres ini dibicarakan masalah yang prinsipil dan fundamental, yaitu mengenai asa organisasi yang akhirnya Pancasila ditetapkan sebagai asas organisasi.
Hasil nyata dari konsolidsi ialah masuknya 47 cabang di Sulawesi dan Kalimantan ke dalam barisan PGRI, sedangkan sebanyak 2.500 guru yang sedianya akan di gaji berbeda – beda menurut ketentuan swapraja/swatantra dapat tertolong dan digaji dengan mengikuti standar yang seragam dari pusat.
2.      Kongres VI PGRI di Malang : 24 – 30 November 1952
Kongres ini menyepakati beberapa keputusan penting. Dalam bidang pendidikan disetujui agar sistem pengajaran diselaraskan dengan kebutuhan negara pada masa pembangunan, KPKPKB dihapuskan pada akhir tahun pelajaran 1952/1953, KPKB ditiadakan atau dirubah menjadi SR 6 tahun, kursus B-1/B-II untuk pengadaan guru SLTP dan SLTA diatur sebaik-baiknya, diadakan Hari Pendidikan Nasional.
Dalam kongres ini disahkan pula “Mars PGRI” ciptaan Basoeki Endopranoto. Dalam melaksanakan keputusan kongres VI, agenda yang dirasakan paling berat oleh PB PGRI adalah memperjuangkan anggaran Kementrian PP & K hingga mencapai 25% dari seluruh anggaran pemerintah.
Dalam bidang organisasi, konsolidasi terus dilakukan dengan meneliti dan mengambil tindakan terhadap cabang-cabang PGRI yang tidak menegnai ketentuan-ketentuan organisasi. Sebagai tindak lanjut dari resolusi Kongres VI di Malang mengenai pendidikan nasional, PB PGRI membentuk Panitia Konsepsi Pendidikan Nasional. Dalam bidang perburuhan dari keputusan yang diperjuangkan banyak diantaranya yang tercapai, antara lain; uang jalan PS/PSK meningkat 3 kali lipat, adanya pedoman pengangkatan bagi guru, tunjangan bagi pemangku jabatan, tunjangan hari raya sebesar 25% dari pendapatan bersih per bulan, tunjangan bagi guru-guru yang berada di daerah.
3.      Kongres VII PGRI di Semarang : 24 Nov. s/d 1 Des. 1954
Hasil kongres ini antara lain, Bidang Umum; pernyatan mengenai irian barat, resolusi mengenai desentralisasi sekolah. Bidang pendidikan antara lain; resolusi mengenai anggaran belanja PP & K, resolusi mengenai UU Sekolah Rakyat dan UU Kewajiban Belajar. Bidang perburuhan antara lain; tunjangan khusus bagi pegawai yang bertugas didaerah yang tidak aman, guru SR dinyatakan sebagai pegawai tetap. Dalam bidang organisasi keputusan yang sangat penting adalah pernyataan PGRI untuk keluar dari GBSI dan menyatakan diri sebagai organisai “Non-vaksentral”. Dalam kongres ini dibicarakan pula masalah pendidikan agama.
4.      Kongres VIII PGRI di Bandung : (1956)
Kongres ini dihadiri oleh hampir seluruh cabang PGRI di Indonesia. Jumlah anggota PGRI meningkat menjadi 107.032 orang, tersebar di 511 cabang seluruh Indonesia. Mengenai sistem pendidikan yang masih mengandung unsur-unsur pendidikan kolonial, PGRI terus mendesak pemerintah untuk segera mengubahnya sehingga lebih bersifat nasional. PGRI juga mengusulkan kepada pemerintah untuk agar lebih memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan murid dan guru.
Mengenai Hari Pendidikan, pemerintah kemudian menetapkan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional, sementara itu tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden tahun 1994.
PGRI selalu berusaha memperjuangkan kepastian karier guru. Kongres VII PGRI mendesak pemerintah untuk membentuk Pnitia Amandemen PGPN. Tidak lama setelah kongres berakhir, pemerintah membentuk panitia dimaksud yang diberi waktu satu tahun untuk menyelesaikan tugasnya. Usul-usul PGRI untuk memperbaiki PGPN hampir seluruhnya diterima oleh panitia tersebut.

E.    Lahirnya PGRI Non-Vaksentral/PKI
Periode tahun 1962-1965 merupakan episode yang sangat pahit bagi PGRI. Dalam masa ini terjadi perpecahan dalam tubuh PGRI yang lebih hebat dibandingkan dengan pada periode-periode sebelumnya. Penyebab perpecahan itu pun bukan demi kepentingan guru atau profesi guru secara keseluruhan, melainkan karena ambisi politik dari luar dengan dalih “machtsvorming en macthsaanwending” (pembentukan kekuatan dan penggunaan kekuatan) yang diterapkan melalui berbagai macam organisasi masyarakat.  Kubu komunis berhasil menunjuk Soepardi dan Goldfried “macan” menjadi Ketua dan Wakil Ketua pemilihan PB PGRI. Ternyata Goldfried termasuk salah seorang penandatanganan “surat fitnah” sehingga timbul protes dari sidang pleno, sehingga Goldfried dikeluarkan dari panitia dengan demikian pemilihan ketua umum dan susunan PB PGRI berjalan lancar dengan memilih kembali M.E. Subiadinata sebagai ketua umum.
Pada bulan-bulan pertama sesudah kongres X, PGRI menghadapi kesulitan besar terutama karena kekurangan dana. Bukan karena jumlah iuran anggota yang kecil (Rp 1,50) melaikan karena pemasukan dana dari Jawa Tengah dan Jawa Timur sangat seret. Iuran dari beberapa cabang yang setia pada PB PGRI di kedua provinsi  tersebut disabot oleh pengurus daerah yang pro-PKI, meskipun demikian, kegiatan PGRI tetap berjalan dalam upayanya memperjuangkan nasib para guru.
Masalah dukungan PGRI terhadap masuknya PSPN (Persatuan Serikat Pekerja Pegawai Negeri) ke dalam SOKSI yang diputuskan dengan 12 suara pro lawan 2 suara kontra pada hakekatnya tidak mengubah kekompakan di lingkungan PB PGRI. Hal ini disebabkan adanya kejelasan pada semua pihak saat itu bahwa dukungan tersebut dengan sendirinya tidak berlaku lagi jika dua syarat yang diajukan oleh PB PGRI, yakni “SOKSI bukan merupakan Vaksentral” dan “nama SOKSI harus diganti”, tidak terpenuhi.
Suasana tegang benar-benar terasa setelah PB PGRI ikut serta dalam musyawarah penegasan pancasila sebagai dasar pendidikan nasional yang dilangsungkan pada 17 Juli 1963 di Jakarta. Musyawarah ini diadakan oleh 5 partai politik dengan 40 ormasnya sebagai reaksi terhadap “seminar pendidikan mengabdi manipol” yang diadakan pada bulan Februari 1963 di Jakarta oleh Lembaga Pendidikan Nasional (LPM) yang dibentuk oleh PKI dan kawan-kawannya. Maka menjadi jelas siapa yang memihak musyawarah penegasan pancasila sebagai dasar pendidikan nasional dan siapa yang memihak seminar pendidikan mengabdi manipol. Setelah PGRI ikut serta dalam musyawarah penegaran pancasila tersebut, maka Moejono dan Ikhwani mengajukan nota pengunduran diri.
Semua pengurus cabang dan sebagaian besar anggota PGRI mengetahui bahwa biasanya rapat PB PGRI diadakan setiap selasa malam. Soebrandri, Moejono, dan Ikhwani pun tahu betul bahwa pada selasa malam tanggal 9 Juni 1964 itu akan dibicarakan masalah SOKSI sesuai dengan keputusan rapat PB PGRI sebelumnya. Keputusan PB PGRI untuk menarik kembali dukungannya terhadap masuknya PSPN ke dalam SOKSI akan keluar. Oleh sebab itu, dengan tergopoh-gopoh kelompok Soebandri, Moejono, dan Ikhwani menyelenggarakan rapat pada hari Minggu tanggal 7 Juni 1964,  karena bila terlambat, meraka tidak mungkin lagi dapat mempergunakan dalih Non-Vaksentral sebagai senjata propaganda mereka. Sementara itu secara terbuka mereka tidak berani membela “panca cinta” sebagai isi moral sistem pendidikan pancawardhana. Meskipun demikian, pada akhirnya terbuka juga maksud tersembunyi mereka.
Pada malam perkenalan untuk apa yang mereka sebut “PB PGRI Non-Vaksentral”, ternyata tidak banyak orang yang datang sebagai penggantinya, mereka mengerahkan murid-murid sekolah yang tidak tahu menahu urusan politik namun acara perkenalan tersebut dilarang oleh polisi, sehingga dengan cepat panitia mengubahnya menjadi “malam angklung”. Pada usaha ke dua kali beberapa hari kemudian, mereka berhasil melakukan acara perkenalan tersebut dengan menggunakan aula departemen P dan K yang sempit.
Selain melalui PGRI penyusupan mereka dilakukan pula terhadap aparatur pendidikan, terutama di lingkungan departemen P dan K, mulai dari yang bertugas dalam perancangan anggaran pendidikan sampai pelaksanaan pendidikan di lapangan. Hal ini menyebabkan suasana kerja semakin ruyam.


DAFTAR PUSTAKA


No comments:

Post a Comment