Sejarah PGRI Masa Orde Lama
A. GERAKAN GURU PADA MASA PERJUANGAN
KEMERDEKAAN
Pada
zaman Belanda, terdapat bermacam – macam sekolah yang diperuntukkan bagi
golongan tertentu. Guru – gurunya adalah tamatan bermacam sekolah guru, antara
lain Sekolah Guru Desa, Kweekschool (KS), dll. Perbedaan dalam penggajian dan
kedudukan tidak jarang menimbulkan pertentangan antar golongan. Pemerintah
Belanda secara sistematis sengaja menciptakan golongan tinggi dan golongan
rendah.
Para guru lulusan berbagai jenis
sekolah yang ada pada masa itu berusaha memperjuangkan nasibnya. Pada tahun
1908 lahirlah Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel in Nederlands Indie
(VSVT), organisasi tersebut bergerak untuk menuntut perbaikan nasib dan
kedudukan yang wajar dan adil.
Mulai tahun 1907, terjadi
perkembangan penting pada kelas tinggi Eerste-Inlandse School (EIS)
yaitu diberikannya pelajaran bahasa Belanda. Setelah 7 tahun, EIS kemudian
berubah menjadi Hollands-Inlandse School (HIS).Arti penting dari
perubahan ini adalah supaya terbuka kesempatan bagi putra – putrid Indonesia
untuk memasuki pintu gerbang ilmu pengetahuan umum, ilmu politik, ilmu sosial,
sejarah, dan sebagainya.
Sejarah organisasi perjuangan guru
pada zaman Belanda dimulai pada tahun 1912 dengan berdirinya Persatuan Guru
Hindia Belanda (PGHB) yang diketuai Karto Soebroto yang bersifat unitaristik.
Kondisi sosial politik pada waktu itu mempersulit terciptanya kesatuan bahasa
dalam perjuangan guru. PGHB yang berbentuk union tersebut akhirnya pecah dan
mereka masing – masing anggota berjuang sesuai program kerjanya, terutama
memperjuangkan perbaikan gaji. Pada tahun 1919 terbentuk gerakan – gerakan
baru, PGB, PNS, KSB dan SOB.
Pada tahun 1932, PGHB diganti menadi
PGI (Persatuan Guru Indonesia). Pada tahun 1930-an terdapat Perserikatan
Volkbonden Pegawai Negeri (PVPN). Pada Desember 1939, jumlah seluruh
anggota PVPN sebanyak 41.521 orang.
Perang Dunia II pecah tahun 1939.
Negei Belanda diduduki oleh tentara Jepang. Pada zaman Jepang, keadaan sama
sekali berubah. Segala organisasi dilarang, segala kegiatan pendidikan dan
politik membeku. Menjelang jepang takluk pada tenyara Sekutu, sekolah mulai
dibuka kembali.
B.
LAHIRNYA PGRI TANGGAL 25 NOVE MBER 1945
Proklamasi merupakan jembatan emas
setelah bangsa Indonesia melewati perjuangan fisik untuk kemudian mulai
membangun Indonesia yang baru, merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
berdasarkan pancasila.
Semangat proklamasi itulah yang
menjiwai penyelenggaraan Kongres Pendidik Bangsa pada tanggal 24 – 25 November
1945 bertempat di Sekolah Guru Puteri (SGP) Surakarta. Dari kongres itu
lahirlah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Pendiri PGRI antara lain Rh.
Koesnan, Amin Singgih, Ali Marsaban, Djajeng Soegianto, Soemidi Ajisasmito,
Abdullah Noerbambang, dan Soetono. Mereka serentak bersatu untuk mengisi
kemerdekaan dengan 3 tujuan; a.) mempertanamkan dan menyempurnakan Republik
Indonesia; b.) mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaransesuai dasar –
dasar kerakyatan; c.) membela hak dan nasib para buruh umumnya dan khususnya
para guru.
PGRI lahir sebagai “anak sulung”
dari Proklamasi Kemerdekaan yang memiliki sifat dan semangat seperti “ibu
kandungnya”, yaitu semangat persatuan dan kesatuan, pengorbanan dan
kepahlawanan untuk menentang penjajah. PGRI merupakan organisasi pelopor dan
pejuang. Sementara itu tujuan kedua adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan
meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia. Tujuan yang ketiga sebagai wahana
meningkatkan perjuangan untuk perbaikan nasib anggotanya.
Pada tanggal 24 – 25 November 1945
diadakan Kongres Guru Indonesia di Surakarta. Di dalam kongres tersebut ,
terdapat pengurus – pengururs sebagai berikut :
Ketua
: Tn. Amin Singgih
Wakil Ketua : 1. Tn. Koesnan
2. Tn. Soekitro
Penulis : 1. Tn. Djajengsoegito
2. Tn. Alimarsaban
Bendahara : 1. Tn. Soemidi Adisasmita
2. Tn. Siswowidjojo
Anggota : 1. Nona Siti Wahjoenah
Wakil Ketua : 1. Tn. Koesnan
2. Tn. Soekitro
Penulis : 1. Tn. Djajengsoegito
2. Tn. Alimarsaban
Bendahara : 1. Tn. Soemidi Adisasmita
2. Tn. Siswowidjojo
Anggota : 1. Nona Siti Wahjoenah
2.Tn.Martosoedigdo
3.Tn.Reksosoebroto(Siswowardodjo)
4.Tn.Parmoedjo
3.Tn.Reksosoebroto(Siswowardodjo)
4.Tn.Parmoedjo
C.
PGRI PADA MASA PERANG KEMERDEKAAN
Cita – cita PGRI sejalan dengan cita
– cita bangsa Indonesia secara keseluruhan. Para guru menginginkan kebebasan
dan kemerdekaan, memacu kecerdasan bangsa dan membela serta memperjuangkan
kesejahteraan anggotanya. Pada tanggal 23 – 24 November 1946 diaadakan Kongres
PGRI di Surakarta. PGRI mengajukan 3 tuntutan kepada pemerintah, yaitu mengenai
Undang – undang Pokok Pendidikan dan Perburuhan, Sistem Pendidikan, dan Gaji
guru. Tuntutan tersebut mendapat perhatian dari pemerintah.
Kemudian pada tanggal 27 – 29 Februari 1948
diadakan Kongres III PGRI di Madiun. Kongres ini memutuskan bahwa untuk
menigkatkan efektivitas organisasi, ditempuh jalan dengan memekarkan cabang –
cabang yang tadinya setiap keresidenan memiliki satu cabang menjadi cabang yang
lebih kecil. Untuk membantu tugas pengurus besar dibentuklah komisariat daerah
pada setiap keresidenan.
PGRI memiliki haluan dan sifat
perjuangan yang jelas, yaitu mempertahankan NKRI, meningkatkan pendidikan dan
pengajaran nasional sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945, dan tidak bergerak
dalam lapangan politik (non-partai politik).
D. PGRI PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL
1.
Kongres IV
PGRI di Yogyakarta : 26 – 28 Februari 1950
Menurut catatan, Kongres IV mewakili 15.000 anggota
dari 76 cabang. Guru – guru yang bernaung dibawah panji – panji PGRI secara
aklamasi mengambil keputusan untuk mempersatukan semua guru di seluruh tanah
air dalam satu organisasi kesatuan yaitu PGRI.
PB PGRI segera melakukan kontak dengan tokoh – tokoh guru di Medan, Banjarmasin, Makassar dan Denpasar. Selain mengirim “Maklumat Persatuan”, dikirimkan juga seluruh keputusan Kongres IV dan AD/ART kepada para utusan yang menghadiri Kongres tersebut. Mereka ditugaskan supaya secepatnya memberikan laporan ke Jakarta dan Yogyakarta tentang tanggapan para guru terhadap “Maklumat Persatuan” serta perkembangan selanjutnya.
PB PGRI segera melakukan kontak dengan tokoh – tokoh guru di Medan, Banjarmasin, Makassar dan Denpasar. Selain mengirim “Maklumat Persatuan”, dikirimkan juga seluruh keputusan Kongres IV dan AD/ART kepada para utusan yang menghadiri Kongres tersebut. Mereka ditugaskan supaya secepatnya memberikan laporan ke Jakarta dan Yogyakarta tentang tanggapan para guru terhadap “Maklumat Persatuan” serta perkembangan selanjutnya.
Pada akhir Februari 1950, sebanyak
30 cabang SGI di seluruh Negara Pasudan menyatakan memisahkan diri dari SGI
kemudian masuk PGRI.
1.
Kongres V
PGRI di Bandung : 19 – 24 Desember 1950
Kongres ini secara keseluruhan
melibatkan 202 cabang dari 301 cabang PGRI yang ada. Dalam kongres ini
dibicarakan masalah yang prinsipil dan fundamental, yaitu mengenai asa
organisasi yang akhirnya Pancasila ditetapkan sebagai asas organisasi.
Hasil nyata dari konsolidsi ialah masuknya
47 cabang di Sulawesi dan Kalimantan ke dalam barisan PGRI, sedangkan sebanyak
2.500 guru yang sedianya akan di gaji berbeda – beda menurut ketentuan
swapraja/swatantra dapat tertolong dan digaji dengan mengikuti standar yang
seragam dari pusat.
2.
Kongres VI
PGRI di Malang : 24 – 30 November 1952
Kongres ini menyepakati beberapa
keputusan penting. Dalam bidang pendidikan disetujui agar sistem pengajaran
diselaraskan dengan kebutuhan negara pada masa pembangunan, KPKPKB dihapuskan
pada akhir tahun pelajaran 1952/1953, KPKB ditiadakan atau dirubah menjadi SR 6
tahun, kursus B-1/B-II untuk pengadaan guru SLTP dan SLTA diatur
sebaik-baiknya, diadakan Hari Pendidikan Nasional.
Dalam kongres ini disahkan pula
“Mars PGRI” ciptaan Basoeki Endopranoto. Dalam melaksanakan keputusan kongres
VI, agenda yang dirasakan paling berat oleh PB PGRI adalah memperjuangkan
anggaran Kementrian PP & K hingga mencapai 25% dari seluruh anggaran
pemerintah.
Dalam bidang organisasi, konsolidasi
terus dilakukan dengan meneliti dan mengambil tindakan terhadap cabang-cabang
PGRI yang tidak menegnai ketentuan-ketentuan organisasi. Sebagai tindak lanjut
dari resolusi Kongres VI di Malang mengenai pendidikan nasional, PB PGRI
membentuk Panitia Konsepsi Pendidikan Nasional. Dalam bidang perburuhan dari
keputusan yang diperjuangkan banyak diantaranya yang tercapai, antara lain;
uang jalan PS/PSK meningkat 3 kali lipat, adanya pedoman pengangkatan bagi
guru, tunjangan bagi pemangku jabatan, tunjangan hari raya sebesar 25% dari
pendapatan bersih per bulan, tunjangan bagi guru-guru yang berada di daerah.
3.
Kongres VII
PGRI di Semarang : 24 Nov. s/d 1 Des. 1954
Hasil kongres ini antara lain,
Bidang Umum; pernyatan mengenai irian barat, resolusi mengenai desentralisasi
sekolah. Bidang pendidikan antara lain; resolusi mengenai anggaran belanja PP
& K, resolusi mengenai UU Sekolah Rakyat dan UU Kewajiban Belajar. Bidang
perburuhan antara lain; tunjangan khusus bagi pegawai yang bertugas didaerah
yang tidak aman, guru SR dinyatakan sebagai pegawai tetap. Dalam bidang
organisasi keputusan yang sangat penting adalah pernyataan PGRI untuk keluar
dari GBSI dan menyatakan diri sebagai organisai “Non-vaksentral”. Dalam kongres
ini dibicarakan pula masalah pendidikan agama.
4.
Kongres VIII
PGRI di Bandung : (1956)
Kongres ini dihadiri oleh hampir
seluruh cabang PGRI di Indonesia. Jumlah anggota PGRI meningkat menjadi 107.032
orang, tersebar di 511 cabang seluruh Indonesia. Mengenai sistem pendidikan
yang masih mengandung unsur-unsur pendidikan kolonial, PGRI terus mendesak
pemerintah untuk segera mengubahnya sehingga lebih bersifat nasional. PGRI juga
mengusulkan kepada pemerintah untuk agar lebih memperhatikan kesehatan dan
kesejahteraan murid dan guru.
Mengenai Hari Pendidikan, pemerintah
kemudian menetapkan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional, sementara
itu tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional yang ditetapkan
melalui Keputusan Presiden tahun 1994.
PGRI selalu berusaha memperjuangkan
kepastian karier guru. Kongres VII PGRI mendesak pemerintah untuk membentuk
Pnitia Amandemen PGPN. Tidak lama setelah kongres berakhir, pemerintah
membentuk panitia dimaksud yang diberi waktu satu tahun untuk menyelesaikan
tugasnya. Usul-usul PGRI untuk memperbaiki PGPN hampir seluruhnya diterima oleh
panitia tersebut.
E. Lahirnya PGRI
Non-Vaksentral/PKI
Periode tahun 1962-1965 merupakan
episode yang sangat pahit bagi PGRI. Dalam masa ini terjadi perpecahan dalam
tubuh PGRI yang lebih hebat dibandingkan dengan pada periode-periode
sebelumnya. Penyebab perpecahan itu pun bukan demi kepentingan guru atau
profesi guru secara keseluruhan, melainkan karena ambisi politik dari luar
dengan dalih “machtsvorming en macthsaanwending” (pembentukan kekuatan dan
penggunaan kekuatan) yang diterapkan melalui berbagai macam organisasi
masyarakat. Kubu komunis berhasil menunjuk Soepardi dan Goldfried “macan”
menjadi Ketua dan Wakil Ketua pemilihan PB PGRI. Ternyata Goldfried termasuk
salah seorang penandatanganan “surat fitnah” sehingga timbul protes dari sidang
pleno, sehingga Goldfried dikeluarkan dari panitia dengan demikian pemilihan
ketua umum dan susunan PB PGRI berjalan lancar dengan memilih kembali M.E.
Subiadinata sebagai ketua umum.
Pada bulan-bulan pertama sesudah
kongres X, PGRI menghadapi kesulitan besar terutama karena kekurangan dana.
Bukan karena jumlah iuran anggota yang kecil (Rp 1,50) melaikan karena
pemasukan dana dari Jawa Tengah dan Jawa Timur sangat seret. Iuran dari
beberapa cabang yang setia pada PB PGRI di kedua provinsi tersebut disabot
oleh pengurus daerah yang pro-PKI, meskipun demikian, kegiatan PGRI tetap
berjalan dalam upayanya memperjuangkan nasib para guru.
Masalah dukungan PGRI terhadap
masuknya PSPN (Persatuan Serikat Pekerja Pegawai Negeri) ke dalam SOKSI yang
diputuskan dengan 12 suara pro lawan 2 suara kontra pada hakekatnya tidak
mengubah kekompakan di lingkungan PB PGRI. Hal ini disebabkan adanya kejelasan
pada semua pihak saat itu bahwa dukungan tersebut dengan sendirinya tidak
berlaku lagi jika dua syarat yang diajukan oleh PB PGRI, yakni “SOKSI bukan
merupakan Vaksentral” dan “nama SOKSI harus diganti”, tidak terpenuhi.
Suasana tegang benar-benar terasa
setelah PB PGRI ikut serta dalam musyawarah penegasan pancasila sebagai dasar
pendidikan nasional yang dilangsungkan pada 17 Juli 1963 di Jakarta. Musyawarah
ini diadakan oleh 5 partai politik dengan 40 ormasnya sebagai reaksi terhadap
“seminar pendidikan mengabdi manipol” yang diadakan pada bulan Februari 1963 di
Jakarta oleh Lembaga Pendidikan Nasional (LPM) yang dibentuk oleh PKI dan
kawan-kawannya. Maka menjadi jelas siapa yang memihak musyawarah penegasan
pancasila sebagai dasar pendidikan nasional dan siapa yang memihak seminar
pendidikan mengabdi manipol. Setelah PGRI ikut serta dalam musyawarah penegaran
pancasila tersebut, maka Moejono dan Ikhwani mengajukan nota pengunduran diri.
Semua pengurus cabang dan sebagaian
besar anggota PGRI mengetahui bahwa biasanya rapat PB PGRI diadakan setiap
selasa malam. Soebrandri, Moejono, dan Ikhwani pun tahu betul bahwa pada selasa
malam tanggal 9 Juni 1964 itu akan dibicarakan masalah SOKSI sesuai dengan
keputusan rapat PB PGRI sebelumnya. Keputusan PB PGRI untuk menarik kembali
dukungannya terhadap masuknya PSPN ke dalam SOKSI akan keluar. Oleh sebab itu,
dengan tergopoh-gopoh kelompok Soebandri, Moejono, dan Ikhwani menyelenggarakan
rapat pada hari Minggu tanggal 7 Juni 1964, karena bila terlambat, meraka
tidak mungkin lagi dapat mempergunakan dalih Non-Vaksentral sebagai senjata
propaganda mereka. Sementara itu secara terbuka mereka tidak berani membela
“panca cinta” sebagai isi moral sistem pendidikan pancawardhana. Meskipun
demikian, pada akhirnya terbuka juga maksud tersembunyi mereka.
Pada malam perkenalan untuk apa yang
mereka sebut “PB PGRI Non-Vaksentral”, ternyata tidak banyak orang yang datang
sebagai penggantinya, mereka mengerahkan murid-murid sekolah yang tidak tahu
menahu urusan politik namun acara perkenalan tersebut dilarang oleh polisi,
sehingga dengan cepat panitia mengubahnya menjadi “malam angklung”. Pada usaha
ke dua kali beberapa hari kemudian, mereka berhasil melakukan acara perkenalan
tersebut dengan menggunakan aula departemen P dan K yang sempit.
Selain melalui PGRI penyusupan
mereka dilakukan pula terhadap aparatur pendidikan, terutama di lingkungan
departemen P dan K, mulai dari yang bertugas dalam perancangan anggaran
pendidikan sampai pelaksanaan pendidikan di lapangan. Hal ini menyebabkan
suasana kerja semakin ruyam.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment