MAKALAH
PENDIDIKAN BAHASA DAERAH SD
“SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BAHASA
JAWA”
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah, serta
innayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “SEJARAH
DAN PERKEMBANGAN BAHASA JAWA” dengan tepat waktu. Makalah ini kami buat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan bahasa daerah SD.
Kami memohon maaf bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak kekurangan-kekurangan, dari
segi materi, penulisan, pengetahuan dan wawasan kami mengenai Sejarah dan
perkembangan bahasa jawa. Oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan
saran dari Ibu pengampu untuk menyempurnakan makalah ini.
Brondong, 20
Oktober 2015
Tim Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
BAB II PEMBAHASAN
1.
SEJARAH ASAL
USUL BAHASA JAWA
A.
Perkembangan
bahasa nusantara
B.
Pemakai
bahasa jawa
C.
Madu basa,
madu rasa, madu brata
D.
Bahasa para
pujangga
E.
Unggah
ungguhing basa
2.
EKSISTENSI
BAHASA JAWA DALAM PERGAULAN ANAK MUDA
3.
FONOLOGI,
FONOTATIK, DAN DIALEK-DIALEK BAHASA JAWA
4.
FUNGSI
BAHASA JAWA DALAM MASYARAKAT
5.
MACAM-MACAM
BAHASA JAWA MENURUT TATA KRAMANYA
A.
Bahasa jawa
ngoko
B.
Bahasa jawa
madya
C.
Bahasa jawa
krama
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia
adalah Negara yang majemuk, berbagai suku, ras, budaya, adat, agama dan bahasa,
ada di dalamnya. Bahasa, adalah salah satunya yang menjadikan negeri kita ini
semakin beragam. Setiap suku, pasti memiliki bahasa tersendiri, sebut saja suku
Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Dayak, itu hanya sebagian kecil saja. Menarik
perhatian adalah tentang bahasa Jawa. Bahasa Jawa termasuk salah satu bahasa
yang sudah kita kenal dan sudah kita gunakan sedari kita kecil. Sadar atau
tidak, bahasa krama Jawa ternyata sangat mempengaruhi kita. Diantara semua
orang yang berada di Jawa, sebagian besar dari mereka pasti mengajarkan bahasa
krama kepada anak-anaknya semenjak lahir.
Bahasa Jawa mempunyai peranan yang
sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.Dari segi kuantitas, pemakai bahasa
jawa lebih dari 150.000.000 jiwa dan tinggal dimana-mana. Di pulau Jawa
khususnya dan di seluruh kepulauan nusantara pada umumnya, bahasa Jawa menjadi
alat komunikasi yang akrab dan luas. Bahkan orang Indonesia yang tinggal di
luar negeri, bahasa Jawa kerap digunakan sebagai lambang jati diri bangsa.
Sejak dulu kala, bahasa Jawa telah digunakan untuk mewariskan nilai-nilai
kebudayaan secara turun temurun.
Pada hakikatnya bahasa
merupakan alat komunikasi. Berbahasa adalah berkomunikasi. Hakikat
berkomunikasi adalah proses penyampaian pesan, bukan sistem penyampaian pesan.
Berhasil tidaknya berkomunikasi bergantung pada sampai-tidaknya informasi yang disajikan,
bukan rapi atau tidaknya sistem komunikasi yang digunakan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Asal-Usul Bahasa Jawa
A.
Perkembangan Bahasa Nusantara
Bahasa Jawa satu asal dengan bahasa
orang-orang di sekitar pulau Jawa, seperti bahasa Sunda, Melayu, Madura, Dayak,
Bugis, dan sebagainya. Bahasa-bahasa yang di pakai di daratan atau di
pulau-pulau diantara pulau Pas di sebelah timur, mulai dari pulau Madagaskar di
sebelah barat, di sebelah utara adalah pulau Formosa, dan di sebelah selatan
adalah pulau Selandia Baru.
Bahasa-bahasa di wilayah tersebut
termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. Bahasa-bahasa tersebut satu asal
dengan bahasa-bahasa di Hindia Belakang yang di sebut Mon Khmer yang juga masih
banyak persamaannya dengan bahasa Polong, bahasa Samkai, Munda, dan Samtali.
Semua bahasa tersebut termasuk dalam
rumpun bahasa Austro Asia.Pengelompokan bahasa Austronesia dapat di bagi
menjadi dua kelompok, yaitu : bahasa Oceania dan bahasa Indonesia.
Bahasa Oceania dibagi menjadi tiga
kelompok menurut jauh dekatnya letak pulau-pulau tersebut, yaitu: bahasa-bahasa
Mikronesia, bahasa-bahasa Melanesia dan bahasa-bahasa Polinesia. Adapun bahasa
Indonesia menurut arah mata angin dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
bahasa-bahasa di sebelah barat dan utara, dan bahasa-bahasa di sebelah timur.
B.
Pemakai Bahasa Jawa
Bahasa-bahasa di Indonesia dan
wilayah sekitarnya pada awalnya merupakan satu asal. Jika kemudian
terpecah-pecah menjadi bermacam-macam bahasa, terutama disebabkan oleh karena
Indonesia terdiri dari banyak pulau. Keadaan geografis tersebut menyebabkan berkurangnya
pengaruh bahasa satu dengan bahasa yang lain. Selain itu masing-masing pulau
mempunyai pemerintahan daerah sendiri-sendiri. Keadaan yang demikian itu
menyebabkan tumbuhnya beraneka macam bahasa hingga sekarang ini. Sebab-sebab
yang lain di antaranya ialah dalam satu daratan, rendahnya intensitas pertemuan
(rendahnya mobilitas) juga menyebabkan bergeser dan berubahnya sebuah kata,
pengertian dan maknanya, dan juga menyebabkan perbedaan cara menyusun kata
dalam sebuah kalimat, sehingga muncul bermacam-macam cengkok bahasa (dialek).
Sehingga sama-sama bahasa Jawa, tempat yang satu dengan yang lain cengkoknya
tidak sama baik itu hal baiknya, kasarnya atau halusnya. Menurut beberapa
pendapat sampai saat ini, cengkok bahasa Jawa yang dianggap baik dan halus
adalah : Cengkok Surakarta atau Cengkok Yogyakarta.
Sebagaimana halnya Bahasa Portugis,
pengaruh Bahasa Cina terhadap Bahasa Jawa melalui kontak dagang. Kata-kata yang
telah terserap dalam Bahasa Jawa misalnya: bakmi, bakwan, bakso, bakpia,
tahu, cawan, saoto, kuwih, mangkok, conto, dacin, teh, loteng, dan
sebagainya. Bahasa Melayu yang terserap dalam Bahasa Jawa tidak terlalu banyak
jika dibandingkan dengan Bahasa Jawa yang terserap dalam Bahasa Melayu.
Kata-kata yang termasuk dalam Bahasa Jawa misalnya: tempo, bung, kerja,
pengaruh, gencatan senjata, naskah, istimewa , dan sebagainya. Pada masa
pemerintahan Hindia Belanda dan Inggris tentu saja banyak kata-kata yang
terserap dalam Bahasa Jawa. Kata-kata tersebut misalnya: sekolah, buku,
bangku, lampu, potelot, bensin, mesin, pen, grip, montor, karcis, onder,
residen, gubernur, dokter, dan sebagainya.
C.
Madu Basa, Madu Rasa, Madu Brata
Menurut Damardjati Supadjar,
pujangga-pujangga dan sarjana-sarjana dahulu pada umumnya sedikit bicara.
Tekanannya terletak pada pengolahan dini dan pembinaan kepribadian. Mereka yang
ada di depan, pan pemuka masyarakat, para pemimpin, haruslah asungtuladha
, golongan menengah mangun karsa dan mayoritas rakyat tut wuri
handayani.
Walaupun demikian bukannya
pelajaran-pelajaran tadi lalu bercerai-berai dan berserakan tanpa sistem,
melainkansegalanya berlangsung dengan hati-hati, memerlukan kehalusan perasaan,
intensitas kemauan dan bertingkat-tingkat: Madu basa yaitu meliputi
sopan-santun berbahasa, tata cara, adat istiadat, pokoknya hal ikhwal memadu
bahasa, demi kemanisan madunya. Madu rasa yang meliputi tepa sarira,
tepa-tepi, unggah-ungguh, eguh-tangguh, tuju panuju, empan papan, kalam,angsa,
dan duga prayoga. Kemanisan rasa yang dialami pada tingkat kedua ini
lebih mendalam dan Jauh lebih lama berlangsungnya daripada tingkatan pertama,
juga lebih mengasyikkan. Kesenangan orang yang sedang thalabul ilmi, ngudi
ka-wruh, tidah pernah berku-rang bahkan selalu bertambah.
Madu brata meliputi:
1. Eling lan waspada atau awas eling
2. Nawung kridha : manusia dapat merasakan sendiri
bahwa pemeliharaan hidupnya memerlukan pengetahuan tentang tabiat alam yang
berbeda-beda. Manusialah yang harus adaptif dan responsif terhadap alam dalam
batas-batas seperlunya.
3. Pangastuti:yaitu daya batin yang diridhai
Tuhan (jinurung ingghaib), yang mampu mengalahkan sura dira
jayaningrat.
Sistematika bertingkat tiga: madu-basa, madu-rasa dan
madu brata tersebut sejalan dengan kehidupan maknawiyah kawi sastra yang
merupakan prasapa Sultan Agung.
Tata trapsilaning wuwus
sandining sastra
sandining sasmita
pamardjati Supadjar, 1978: 74-79).
D.
Bahasa Para Pujangga
Ketajaman batin pujangga
Ranggawarsita menyebabkan beliau juga mendapat gelar SangKawiNawung Kridha.
Dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Ranggawarsita mengajukan syarat-syarat
untuk menjadi dwija yang baik meliputi delapan kriteria seperti berikut.
1.
Paramasastra, yang berarti mahir dalam hal sastra.
2.
Paramakawi, yang berarti mahir dalam hal kata-kata Kawi, yaitu kata-kata
puitis yang lazim digunakan dalam gita.
3.
Mardi basa, yang berarti dapat menguasai bahasa dengan memilih
kata-kata yang tepat dan pantas.
4.
Mardawalugu, yang berarti mahir dalam hal seni suara.
5.
Awicara, yang berarti pandai mengarang atau bercerita.
6.
Mandraguna, yang berarti menguasai banyak pengetahuanbaik kasar
maupun halus
7.
Nawungkridha, yang berarti menguasai gerak lahir dan batin,
termasuk kawaskithan,
8.
Sanbegana, Yang berarti mempunyai daya ingat Yang kuat. (Serat
Wirid Hidayat Jati).
Dalam pengembangan sastra babad,
Sultan Agung tampaknya memegang peranan yang sangat penting dan menentukan. Ia
sadar betul bahwa sastra babad dapat dimanfaatkan sebagai alat politik. Ini
dapat diketahui dari perintahnya untuk menulis babad dalam tahun 1626 dan
penulisannya kembali dalam tahun 1633, yaitu setelah kegagalannya menyerang
Jakarta pada tahun 1628 dan 1629. Mengingat perkembangan babad sejalan dengan
per-kembangan unggah-ungguhing basa yang Sultan Agung mempunyai minat
begitu besar, masuk akal jika terdapat pendapat bahwa Sultan Agung memang
berperan besar dalam pengembangan babad. Karena itu tidak mustahil bahwa dalam
pengembangan unggah-ungguhing basa, Sultan Agung memegang peranan yang
menetukan. Unggah-ungguhing basa itu dikembangkan dengan memanfaatkan
para pujanggakraton (Moedjanto, 1994: 60).
Hingga akhir abad ke-16, pada zaman
kerajaan Demak dan Pajang, unggah-ungguhing basa
mungkin sudah mulai semi, meskipun hampir tidak
ditemui hasil sastra dari zaman ini tidaklah sangat penting untuk memberikan
penjelasan lebih lanjut. Yang lebih penting ialah kepastian bahwa dalam abad
ke-17unggah-ungguhing basasudah muncul dan kemudian mengalami
perkembangan yang memberikan bentuk tetapberupa tataran ngoko krama dalam abad
ke-17.
Unggah-ungguhing basamerupakan
alat untuk menciptakan jarak sosial, namun di sisi lain unggah-ungguhing
basa juga merupakan produk dari kehidupan sosial. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa struktur masyarakat merupakan faktor pembentuk dari struktur bahasa. Atau
dapat juga dikatan struktur bahasa merupakan pantulan dari struktur masyarakat.
Struktur bahasa yang mengenal unggah-ungguhing basa merupakan pantulan
dari struktur masyarakat yang mengenal tingkatan-tingkatan sosial atau
stratifikasi sosial. Makin rumit unggah-ungguhing basa, pasti makin
rurnit juga stratifikasi sosialnya.
Selanjutnya unggah-ungguhing basa
memang sangat rumit, meskipun sebenarnya tataran yang pokok hanyalah dua, yaitu
ngoko dan krarna, lalu di antara kedua tataran pokok itu terdapat banyak
variasi (Poerwadarminta, t: 7- 10). Pararel dengan taran baku tersebut,
sesungguhnya masyarakat Jawa terbagi dalam dua strata baku, yaitu sentana
dalem dan kawula dalem, dengan abdi dalem sebagai penghubung atau perantara.
Tiap stratum sosial merniliki kaidah
tersendiri, termasuk di dalamnya unggah-ungguhing basa. Di kalangan
sentana dan abdi dalem, penggunaan tataran krama oleh anak dalam berbicara
dengan orang tua mereka adalah suatu keharusan, akan tetapi dalam kalangan
orang kebanyakan adalah tidak. Kebiasaan berbicara orang kebanyakan pada masa
terakhir, yang melanjutkan tradisi, dapat menjadi Pegangan. Keterangan yang
lebih pasti dapat ditemukandalarn wayang, misalnya percakapan antara
sesamapanakawan, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Keempat panakawan itu
berbicara dalam bahasa ngoko satu dengan yang lainnya. Jadi si anak, Gareng dan
adik-adiknya, ngoko saja kalau bebicara dengan Semar, ayahnya, tanpa dinilai
kurang sopan. Seperti juga percakapan keluarga Sagopa-Sagopi, kepala pedukuhan
Widarakandang. Kyai Sagopa, Nyai Sagopi, anaknya Udawa dan Larasati
masing-masmg berbicara dalam bahasa ngoko (Moedjanto, 1994: 61).
Fungsi dan penggunaan bahasa ngoko
krama dalam masyarakat Jawa adalah Pertama, sebagai norma pergaulan
masyarakat. Dalam bergaul dengan orang lain dalam hidup bermasyarakat, ia
dituntut untuk mengikuti kaidah sosial tertentu.
Salah satu hal yang harus
diperhatikan oleh orang itu dalam bergaul dengan sesama warga masyarakat ialah
bahasa Jawa yang dipakai.
Seperti halnya terhadap suatu kaidah seseorang yang
tidak menaatinya dapat terkena sanksi, demikian juga dalam berbahasa. Kaidah
dalam penggunaan bahasa, dalam hal ini penggunaan tataran ngoko krama, atau unggah-ungguhing
basa, harus ditaati. Kalau seseorang berbahasa jawa dengan orang lain
dengan tidak tepat tataran yang digunakan, maka pergaulan dengan orang lain
meniadi terganggu, menjadi tidak serasi, menjadi tidak harrnonis. Karena itu
dalam pergaulan sehari-hari, bila menggunakan bahasa jawa, seseorang dituntut
oleh masyarakat untuk menggunakan tataran bahasa jawa secara tepat, sesuai
dengan kedudukan seseorang di dalam keluarga, status sosial, tingkat
kebangsawanannya, umur, atau prestisnya(Widyasastra Digdaya,1953: 2)
Kedua, erat hubungannya dengan yang
pertama, tataran bahasa Jawa dipakai sebagai tataunggah ungguh. Istilah unggah
ungguhberarti yang lebih luas daripada unggah ungguhing basa. Unggah
ungguhberarti tata sopan santun, sedangkan unggah ungguhing basaberarti
tataran ngoko krama, ini berkembang, mungkin karena keinginan bawahan untuk
menunjukkan sikap hormatnya terhadap atasan. Di lain pihak mungkin juga harapan
dari atasan untuk memperoleh penghormatan dengan penggunaan bahasa yang halus.
Pada umumnya penghormatan dengan bahasa hanya terbatas dalam kata-kata
tertentu. Akan tetapi kemudian makin sering kata hormat dipakai, sehingga
frekuensi penggunaan makin tinggi.
Dengan ini maka bahasa Jawa bukan
lagi hanya mengenai kata-kata hormat, yang ada daiam setiap bahasa, akan tetapi
telah menjadi bahasa tersendiri, yaitu bahasa halus, bahasa penghormatan,
bahasa krama (Pigeaud, 1924: 20, 280). Dengan munculnya unggah ungguhing
bahasa, seseorang dituntut untuk menggunakan tataran bahasa Jawa yang tepat,
sebab kalau tidak tepat akan menimbulkan perasaan tidak enak di antara para
pemakainya. Orang-orang desa dan orang-orang yang tidak termasuk dalam kelas
priyayi atau terpelajar akan diberi maaf kalau tidak dapat menerapkan aturan
ngoko kromo secara tepat. Sebaliknya tidak dapat dimaafkan kalau mengaku
priyayi atau terpelajar tetapi tidak dapat berbahasa Jawa secara layak. Hal ini
akan dicap sebagai tidak sopan, ora ngerti krama,kurangajar (Astuti
Hendrata, 1958: 54)
Orang yang diajak bicara dengan
bahasa yg tidak semestinya akan merasa tidak dihormati, karena itu dapat
kehilangan simpati.
Dalam usahanya rnenga1ahkan Jipang,
Pernanahan pernnah menulis surat tantangan sebagai berikut:
Penget! Layang ingsun Kanjeng Sultan
Pajang tumeka marang Arya Penangsang. Liring layang: yen sira nyata wong lanang
sarta kendel, payo prang ijen, aja ngawa bala, nyabranga marang sakulon
bengawan iki. Sun enteni ing kono.
Dalam tata kebangsawanan Demak,
Penangsang lebih tinggi daripada Hadiwijstya, karena ia adalah keturunan
langsung Sultan Demak sedang Hadiwijaya hanyalah rnenantu Sultan Demak. Dilihat
dari silsilah, Penangsang lebih tua daripada istriHadiwijaya, karena ia adalah.
Anak Pangeran Lepen, kakak Trenggana. Sebelum perselisihan antara Penangsang
dan Hadiwijaya menjadi pertentangan terbuka, keduanya berbican dalam babasa
krama (Meinsma, 1941: 56).
Perubahan tata bahasa yang dipakai
dalam surat itu merupakan tantangan bagi Penangsang, apalagi bunyi surat itu
sendiri itu merupakan tantangan. Dalam surat itu sebutan penghormatan kakang
bahkan tidak dituiis di depan nama Penangsang. Tantangan itu memang dapat saja
dalam tataran krama, seperti sebehun permusuhan terbuba akan tetapi akan terasa
aneh.
Ketiga, penggunaan bahasa ngoko krama berfungsi
sebagai alat untuk menyatakan rasa hormat dan keakraban. Tataran krama dipakai
untuk menyatakan hormat kepada orang yang diajak bicara, sedang tataran ngoko
dipakai untuk memperlihatkan derajat keakraban di antara mereka yang berbicara.
Keempat, bahasa jawa juga berfungsi
sebagai pengatur jarak sosial (social distance).
Sebagai suatu dinasti yang baru saja berhasil mengubah
status sosial, dinasti Mataram ingin menunjukkan bahwa dirinya bukan keluarga
sernbarangan, melainkan dinasti terpilih yang mengungguli ke1uarga-ke1uarga
lain. Untuk menunjukhn keunggulan (superiority), kejayaan (glory)
dan kebesaran (greatness) dinasti Mataram, maka dinasti ini sejak Sultan
Agung terutama, perlu menciptakan jarak sosial. Dan alat untuk menciptakan
jarak sosial ini adalah antara lain pengembangan tataran bahasa jawa
ngoko-krama.
Dalam, kaitannya dengan pengembangan
kekuasaan, yang menyangkut juga masalah konsolidasi kedudukan dinasti Mataram
perlu memperkuat kedudukan yang baru direbut. Dari berbagai cara yang ia
lakukan untuk mengokohkan supremasi kekuasaan di jawa, pengembangan tataran
ngoko-krama memang sengaja dikembangkan, sehingga menjadi rurnit, sebagai alat
politik, justru karena dinasti Mataram menyadari dirinya berasal dari kalangan.
petani. Dinasti Mataram mengalami mobilitas dari Waisya ke Ksatria.
Untuk menopang kedudukan sosial yang
baru, jarak sosial antara dinasti Mataram dengan kelompok sosial lain perlu
diciptakan. Salah satu alat untuk terciptanya jarak sosial itu ialah
pengembangan tataran ngoko krama, tataran krama merupakan tataran atas, tataran
ngoko merupakan tataran bawah (Moedjanto, 1987).
E.
Unggah-ungguhing Basa
Ketika seseorang berbicara selain
memperhatikan kaidah-kaidah tata bahasa, juga masih harus memperhatikan siapa
orang yang diajak berbicara. Berbicara kepada orang tua berbeda dengan
berbicara pada anak kecil atau yang seumur. Kata-kata atau bahasa yang
ditujukan pada orang itulah yang disebut: unggah-ungguhing basa. Unggah-ungguhing
basa pada
dasarnya dibagi menjadi tiga: Basa Ngoko, Basa Madya, dan Basa Krama.
Selain yang disebut di atas
orang-orang di. istana/kedhaton menggunakan Bahasa Kedhaton atau yang sering
disebut Basa Bagongan. Di bawah ini adalah skema pembagian unggah-ungguhing
basa:Basa Ngoko : Ngoko Lugu, Ngoko Andhap; Basa Madya : Madya Ngoko, Madya
Krama, Madyantara; Basa Krama : Mudha Krarna, Kramantara, Wredha Krama, Krama
Inggil, Krama Desa, Basa Kedhaton (Bagongan)
Diantara bahasa-bahasa tersebut di
atas yang sering digunakan ialah Basa Ngoko, Mudha Krama, dan Krarna Inggil.
Meskipun demikian tidak ada salahnya jika kita rnengetahui macam-macam basa
seperti yang telah disebut di atas, terutama bagi mereka yang ingin mempelajari
Bahasa jawa. Basa Kasar tidak perlu dijelaskan di sini hanya saja bentuknya adalah
campuran antara Basa Ngoko dengan kata-kata kasar.
2. Eksistensi
Bahasa Jawa Dalam Pergaulan Anak Muda
Indonesia adalah Negara yang
majemuk, berbagai suku, ras, budaya, adat, agama dan bahasa, ada di dalamnya.
Bahasa, adalah salah satunya yang menjadikan negeri kita ini semakin beragam.
Setiap suku, pasti memiliki bahasa tersendiri, sebut saja suku Jawa, Sunda,
Batak, Bugis, Dayak, itu hanya sebagian kecil saja. Menarik perhatian adalah
tentang bahasa Jawa. Bahasa jawa termasuk salah satu bahasa yang sudah kita
kenal dan sudah kita gunakan sedari kita kecil. Sadar atau tidak, bahasa krama
Jawa ternyata sangat mempengaruhi kita. Diantara semua orang yang berada di
Jawa, sebagian besar dari mereka pasti mengajarkan bahasa krama kepada
anak-anaknya semenjak lahir.
Anak yang biasa diajari dengan
bahasa krama Jawa sejak kecil hingga remaja, tata cara berbicara dengan orang
lain akan berbeda dibandingkan dengan yang sama sekali tidak pernah tahu bahasa
krama.
Hal itu jelas membawa kepribadian
yang baik bagi mereka dalam bergaul saat menginjak usia dewasa. Remaja yang
biasa berbahasa krama akan lebih mudah bergaul dengan siapapun, dengan teman
sebaya maupun dengan orang yang usianya lebih tua darinya.
Namun agaknya bahasa krama ini sudah
banyak dilupakan oleh generasi muda sekarang. Meskipun sejak kecil sudah
diajari bahasa krama jawa, ketika dewasa biasanya tergerus oleh zaman yang
serba modern seperti sekarang ini. Anak muda kini semakin lebih suka
mempelajari bahasa asing dari pada bahasa Krama Jawa, bahasa yang sangat sopan
bagi masyarakat jawa pada khususnya. Bagaimanapun juga bahasa krama jawa tetap
harus dipertahankan untuk menjaga kemajemukan masyarakat di negeri tercinta
ini. Caranya dengan tradisi turun temurun, orang tua mengajari anaknya dan seterusnya.
Lingkungan yang paling berpengaruh pada saat anak masih kecil adalah keluarga.
Jika sedari kecil sudah dibiasakan dengan memakai bahasa krama jawa, pasti akan
terbawa juga sampai dewasa kelak. Dan secara tidak langsung akan terjadi proses
regenerasi berlanjut.
Bahasa Jawa adalah bahasa yang
digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten terutama
di kabupaten Serang dan Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara
terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon, Jawa
Tengah & Jawa Timur di Indonesia.
- Fonologi, Fonotatik, dan Dialek-dialek Bahasa Jawa
v Fonologi
Dialek baku bahasa Jawa, yaitu yang
didasarkan pada dialek Jawa Tengah, terutama dari sekitar kota Surakarta dan
Yogyakarta memiliki fonem-fonem berikut:
Vokal: Depan Tengah Belakang i u e Y o ([) (T) a
Konsonan: Labial Dental Alveolar Retrofleks Palatal
Velar Glotal Eksplosiva p b t d ˆ V tƒ d’ k g ” Frikatif s (‚) h Likuida &
semivokal w l r j Sengau m n (s) r K
Perhatian: Fonem-fonem antara tanda kurung merupakan
alofon.
Penjelasan Vokal
Tekanan kata (stress) direalisasikan
pada suku kata kedua dari belakang, kecuali apabila sukukata memiliki sebuah
pepet sebagai vokal. Pada kasus seperti ini, tekanan kata jatuh pada sukukata
terakhir, meskipun sukukata terakhir juga memuat pepet. Apabila sebuah kata
sudah diimbuhi dengan afiks, tekanan kata tetap mengikuti tekanan kata kata
dasar.
Contoh: /jaran/ (kuda) dilafazkan sebagai [j'aran] dan
/pajaranan/ (tempat kuda) dilafazkan sebagai [paj'aranan].
Semua vokal kecuali /Y/, memiliki alofon. Fonem /a/
pada posisi tertutup dilafazkan sebagai [a], namun pada posisi terbuka sebagai
[T].
Contoh: /lara/ (sakit) dilafazkan sebagai [l'TrT],
tetapi /larane/ (sakitnya) dilafazkan sebagai [l'arane]
Fonem /i/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [i]
namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [e].
Contoh: /panci/ dilafazkan sebagai [p'arci] , tetapi
/kancil/ kurang lebih dilafazkan sebagai [k'arcel].
Fonem /u/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [u]
namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [o].
Contoh: /wulu/ (bulu) dilafazkan sebagai [w'ulu] ,
tetapi /ˆuyul/ (tuyul) kurang lebih dilafazkan sebagai [ˆ'uyol].
Fonem /e/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [e]
namun pada posisi tertutup sebagai [[]. Contoh: /lele/ dilafazkan
sebagai [l'ele] , tetapi /bebek/ dilafazkan sebagai
[b'[b[”].
Fonem /o/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [o]
namun pada posisi tertutup sebagai [T].
Contoh: /loro/ dilafazkan sebagai [l'oro] , tetapi /boloK/
dilafazkan sebagai [b'TlTK].
Penjelasan Konsonan Fonem /k/ memiliki sebuah alofon.
Pada posisi terakhir, dilafazkan sebagai [”]. Sedangkan pada posisi tengah dan
awal tetap sebagai [k].
Fonem /n/ memiliki dua alofon. Pada posisi awal atau
tengah apabila berada di depan fonem eksplosiva palatal atau retrofleks, maka
fonem sengau ini akan berubah sesuai menjadi fonem homorgan. Kemudian apabila
fonem /n/mengikuti sebuah /r/, maka akan menjadi [s] (fonem sengau retrofleks).
Contoh: /panjaK/ dilafazkan sebagai [p'arjaK], lalu
/anVap/ dilafazkan sebagai [”'asVap]. Kata /warna/ dilafazkan sebagai [w'arsT].
Fonem /s/ memiliki satu alofon. Apabila /s/ mengikuti
fonem /r/ atau berada di depan fonem eksplosiva retrofleks, maka akan
direalisasikan sebagai [‚].
Contoh: /warsa/ dilafazkan sebagai [w'ar‚T], lalu
/esˆi/ dilafazkan sebagai [”'e‚ˆi].
v Fonotatik
Dalam bahasa Jawa baku, sebuah
sukukata bisa memiliki bentuk seperti berikut: (n)-K1-(l)-V-K2.
Artinya ialah Sebagai berikut:
- (n) adalah fonem sengau homorgan.
- K1 adalah konsonan eksplosiva ata likuida.
- (l) adalah likuida yaitu /r/ atau /l/, namun hanya
bisa muncul kalau K1 berbentuk
eksplosiva.
- V adalah semua vokal. Tetapi apabila K2 tidak ada
maka fonem /Y/ tidak bisa berada pada posisi ini.
- K2 adalah semua konsonan kecuali eksplosiva palatal
dan retrofleks; /c/, /j/, /ˆ/, dan /V/.
Contoh:
- a
- an
- pan
- prang
- njlen
v Dialek-Dialek
Bahasa Jawa
Bahasa Jawa pada dasarnya terbagi atas dua klasifikasi
dialek, yakni :
- Dialek
daerah, dan
- Dialek
sosial
Karena bahasa ini terbentuk dari
gradasi-gradasi yang sangat berbeda dengan Bahasa Indonesia maupun Melayu,
meskipun tergolong rumpun Austronesia. Sedangkan dialek daerah ini didasarkan
pada wilayah, karakter dan budaya setempat. Perbedaan antara dialek satu dengan
dialek lainnya bisa antara 0-70%. Untuk klasifikasi berdasarkan dialek daerah,
pengelompokannya mengacu kepada pendapat E.M. Uhlenbeck, 1964, di dalam bukunya
: "A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura",
The Hague: Martinus Nijhoff[1].
ü Kelompok
Bahasa Jawa Bagian Barat
- Dialek
Banten
- Dialek
Cirebon
- Dialek
Tegal
- Dialek
Banyumasan
- Dialek
Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Kelompok pertama di atas sering disebut bahasa Jawa
ngapak-ngapak.
ü Kelompok
Bahasa Jawa Bagian Tengah :
- Dialek Pekalongan
- Dialek Kedu
- Dialek Bagelen
- Dialek Semarang
- Dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak,
Kudus, Pati)
- Dialek Blora
- Dialek Surakarta
- Dialek Yogyakarta
- Dialek Madiun
Kelompok kedua di atas sering disebut Bahasa Jawa
Standar, khususnya dialek Surakarta dan Yogyakarta.
ü Kelompok
Bahasa Jawa Bagian Timur :
- Dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
- Dialek Surabaya
- Dialek Malang
- Dialek Jombang
- Dialek Tengger
- Dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)
Kelompok ketiga di atas sering disebut Bahasa Jawa
Timuran.
ü Dialek
sosial dalam Bahasa Jawa berbentuk sebagai berikut :
- Ngoko
- Ngoko andhap
- Madhya
- Madhyantara
- Kromo
- Kromo Inggil
- Fungsi Bahasa Jawa dalam Masyarakat
Fungsi
bahasa Jawa dalam masyarakat :
1. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
2. Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia.
3. Alat untuk mengidentifikasi diri.
1. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
2. Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia.
3. Alat untuk mengidentifikasi diri.
4.Sebagai alat untuk mengidentifikasikan dan- mengklasifikasikan
benda-benda di lingkungan sekitar manusia .
- Macam-macam Bahasa Jawa Menurut Tata Kramanya
Kalau
menurut tata kramanya atau unggah-ungguhnya, bahasa Jawa itu dibagi menjadi 3
macam, yaitu:
1.Bahasa Jawa Ngoko.
1.Bahasa Jawa Ngoko.
Yaitu bahasa yang biasa dipakai sehari hari untuk berbicara kepada teman
dan sebagainya.
Boso Ngoko dibagi lagi menjadi 2 yaitu:
Boso Ngoko dibagi lagi menjadi 2 yaitu:
- Ngoko Lugu.
- Ngoko Andhap.
2. Bahasa Jawa Madya.
Dibagi menjadi 3 macam yaitu:
- Madya ngoko.
- Madyantara.
- Madya krama.
3. Bahasa Jawa Krama.
Dibagi menjadi 6 macam yaitu:
- Krama Lugu.
- Mudha Krama.
- Wredha krama.
- Krama inggil
- Krama desa.
- Basa Kedathon.
Banyak juga kan pecahan dari bahasa jawa ini.
Agar tidak bingung, kebanyakan orang jawa membagi sendiri bahasa Jawa menjadi 3 macam saja yang umum, yaitu :
- Bahasa Jawa Ngoko.
- Bahasa Jawa Krama.
- Bahasa Jawa Krama Inggil.
Bahasa Jawa Ngoko.
Bahasa ini digunakan bagi siapa saja, yaitu:
1. Anak dengan anak.
2. Pertemanan (yang sudah karib).
3. Orang yang lebih tua kepada yang lebih muda.
Contohnya adalah:
Kowe ojo mangan dhisik.
Sliramu ojo mangan dhisik.
Bahasa Jawa Krama.
Digunakanan oleh siapa saja, yaitu:
1. Murid kepada guru.
2. Orang muda kepada orang yang lebih tua.
3. Anak kepada orang tua.
4. Pegawai kepada pimpinannya.
Contoh kalimatnya adalah:
Punopo Eyang kakung sampun dhahar?
Kulo tumut bapak datheng sabin.
Lastri kolo wau tumbas sandal.
Bahasa ini digunakan bagi siapa saja, yaitu:
1. Anak dengan anak.
2. Pertemanan (yang sudah karib).
3. Orang yang lebih tua kepada yang lebih muda.
Contohnya adalah:
Kowe ojo mangan dhisik.
Sliramu ojo mangan dhisik.
Bahasa Jawa Krama.
Digunakanan oleh siapa saja, yaitu:
1. Murid kepada guru.
2. Orang muda kepada orang yang lebih tua.
3. Anak kepada orang tua.
4. Pegawai kepada pimpinannya.
Contoh kalimatnya adalah:
Punopo Eyang kakung sampun dhahar?
Kulo tumut bapak datheng sabin.
Lastri kolo wau tumbas sandal.
Bahasa Krama
Inggil.
Ini merupakan bahasa tingkat paling tinggi di boso Jowo. Unggah-ungguh yang sangat disegani oelh orang jawa. Siapa saja yang berbicara dengan bahasa krama inggil ini, tiada kata kasar sama sekali meskipun dalam keadaan marah.
Krama inggil ini merupakan bahasa yang lebih halus dan ngajeni kalau dalam bahasa Jawanya. Mengagungkan orang yang diajak bicara.
Bahasa Krama Inggil biasa disebut juga dengan Kromo Alus (Krama Halus).
Contoh kalimatnya adalah:
Bapak tindak dhateng Jakarta dinten Minggu.
Pak Bagio nembe mucalkelas sekawan.
Pak Badrun mundhut sepatu.
Eyang kakung nembe siram.
Buku kulo dipun asto Bu Guru.
Ini merupakan bahasa tingkat paling tinggi di boso Jowo. Unggah-ungguh yang sangat disegani oelh orang jawa. Siapa saja yang berbicara dengan bahasa krama inggil ini, tiada kata kasar sama sekali meskipun dalam keadaan marah.
Krama inggil ini merupakan bahasa yang lebih halus dan ngajeni kalau dalam bahasa Jawanya. Mengagungkan orang yang diajak bicara.
Bahasa Krama Inggil biasa disebut juga dengan Kromo Alus (Krama Halus).
Contoh kalimatnya adalah:
Bapak tindak dhateng Jakarta dinten Minggu.
Pak Bagio nembe mucalkelas sekawan.
Pak Badrun mundhut sepatu.
Eyang kakung nembe siram.
Buku kulo dipun asto Bu Guru.
Itulah kawruh bahasa jawa yang pantas untuk diketahui oleh orang jawa sendiri khususnya.
Kalau ada orang Jawa yang berbicara ngawur atau tidak sopan, maka banyak yang bilang kalau dia "Tidak Tahu Unggah-Ungguh"
Unggah-ungguh = Tata Krama.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan dalam karya ilmiah ini, kesimpulan penyusun adalah sebagai berikut :
- Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah yang menjadikan negeri kita ini semakin beragam.
- Bahasa Jawa terbentuk dari gradasi-gradasi yang sangat berbeda dengan Bahasa Indonesia maupun Melayu, meskipun tergolong rumpun Austronesia.
- Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.
- Saran
Indonesia adalah Negara yang
majemuk, berbagai suku, ras, budaya, adat, agama dan bahasa, ada di dalamnya.
Bahasa, adalah salah satunya yang menjadikan negeri kita ini semakin beragam. Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia. Sebagai
bangsa Indonesia kita wajib menjaga dan melestarikan bahasa-bahasa daerah,
misalnya dengan menggunakan bahasa jawa di lingkungan rumah, agar bahasa Jawa tidak terlupakan.
Daftar Pustaka :
ü Purwadi , Mahmudi , . (2005). Tata bahasa Jawa. Cet. 1. Yogyakarta: Media Abadi
ü kejawenwetan.blogspot.com/2010/01/macam-bahasa-jawa.html
ü kumpulan-artikel-menarik.blogspot.com/2008/06/sejarah-bahasa-jawa.html
ü coretanarina.wordpress.com/20011/03/09/eksistensi-bahasa-jawa-dalam-pergaulan-anak-muda/
No comments:
Post a Comment